Pekanbaru, 28/07/2018. APTIKOM Pusat dan APTIKOM Riau melakukan wisata sejarah ke istana siak yang terletak di kota siak sri inderapura Provinsi Riau.
Sekjen APTIKOM (Assosiasi Pendidikan Tinggi Informatika dan Komputer) Pusat Prof. Dr.rer.nat. Achmad Benny Mutiara, SSi, SKom yang juga merupakan Guru Besar Gunadarma University dan Prof. Dr. Ir. Teddy Mantoro, M.Sc yang juga merupakan guru besar pada Sampoerna University melakukan kunjungan wisata ke Istana Siak Inderapura selepas melaksanakan seminar nasional informatika di kampus Politeknik Caltex Riau. Tim APTIKOM Pusat juga di dampingi oleh ketua APTIKOM Provinsi Riau DR. Muhardi, M.Kom beserta jajaran pengurus APTIKOM Riau.
Pada kesempatan tersebut Prof Benny dan Prof. Teddy sangat terkesan dengan keindahan dan nilai sejarah yang tersimpan di Istana Siak Sri Inderapura atau Istana Asserayah Hasyimiah[1] atau Istana Matahari Timur merupakan kediaman resmi Sultan Siak yang mulai dibangun pada tahun 1889, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim. Istana ini merupakan peninggalan Kesultanan Siak Sri Inderapura yang selesai dibangun pada tahun 1893. Kini istana ini masuk wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Siak.
Kompleks istana ini memiliki luas sekitar 32.000 meter persegi yang terdiri dari 4 istana yaitu Istana Siak, Istana Lima, Istana Padjang, dan Istana Baroe. Istana Siak sendiri memiliki luas 1.000 meter persegi.
Istana Siak memiliki arsitektur bercorak Melayu, Arab, dan Eropa. Bangunannya terdiri dari dua lantai. Lantai bawah dibagi menjadi enam ruangan sidang: Ruang tunggu para tamu, ruang tamu kehormatan, ruang tamu laki-laki, ruang tamu untuk perempuan, satu ruangan di samping kanan adalah ruang sidang kerajaan, juga digunakan untuk ruang pesta. Lantai atas terbagi menjadi sembilan ruangan, berfungsi untuk istirahat Sultan serta para tamu istana. Di puncak bangunan terdapat enam patung burung elang sebagai lambang keberanian Istana. Sementara pada halaman istana masih dapat dilihat delapan meriam menyebar ke berbagai sisi-sisi halaman istana, kemudian di sebelah kiri belakang istana terdapat bangunan kecil yang dahulunya digunakan sebagai penjara sementara.
Begitu mendengar kabar Indonesia merdeka di tahun 1945, Sultan Syarif Kasim II langsung memberikan dukungan. Tak hanya dukungan secara lisan, maupun moral, melainkan juga secara materiil.
“Sultan Syarif Kasim II menyumbangkan kekayaannya berupa uang sebanyak 13 Juta Gulden kepada pemerintah NKRI. Uang itu digunakan sebagai modal awal berjalannya pemerintahan di masa itu,” ujar Sukri.
Uang sejumlah 13 Juta Gulden di masa itu tentu saja sangat banyak. Pernah ada yang menghitung kurs 13 Juta Gulden di tahun 2011, dan ternyata setara dengan 69 Juta Euro atau jika dirupiahkan sekitar Rp 1,074 Triliun!
Tak hanya itu saja, Sultan Syarif Kasim II juga menyerahkan mahkota Kerajaan Siak kepada Soekarno di Istana Negara pada 1945. Penyerahan mahkota ini menandai simbol bergabungnya Kesultanan Siak dan 12 wilayah kekuasaannya ke NKRI. Mahkota berlapis emas dan bertahtakan berlian ini sampai sekarang masih tersimpan di Museum Nasional.
Dengan bergabungnya Siak ke NKRI, otomatis sultan kehilangan hak atas Istana Asherayah Al-Hasyimiyah yang megah beserta seluruh isinya. Namun bagi Sultan Syarif Kasim II, hal itu tidak menjadi masalah karena dia lebih mementingkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadinya.
Sampai akhir hayatnya, Sultan Syarih Kasim II tinggal dalam keadaan miskin dan statusnya sebagai rakyat jelata di rumah peraduan. Rumah peraduan ini sangat sederhana, lokasinya berada persis di sisi barat kompleks istana.
Akhirnya di Tahun 1998, jasa-jasa Sultan Syarif Kasim II diganjar penghargaan dari Pemerintah RI berupa gelar Pahlawan Nasional yang diserahkan oleh Presiden BJ Habibie. Nama Sultan Syarif Kasim II pun diabadikan sebagai nama bandara di Kota Pekanbaru. (admin)